Tuesday 14 August 2012

TELANJANG

Bandung, 3 Pebruari 2012.

Malam lepas magrib, menyusuri jalan Pungkur seorang diri membuat  ingatan langsung melayang ke ‘ka pungkur’ di Bandung. 
Walau malam menjelang jalanan masih ramai ditambah semaraknya neon sign toko –toko di sepanjang jalan penuh warna, cantik dan semrawut.
Udara dingin menerpa wajah yang telanjang...... telanjang itu dingin.
Memberanikan diri kita telanjang dan siap menghadapi dingin? .
Perjalanan dilanjutkan ke rumah duka RS. Boromeus Bandung....... jenasah sudah tertutup peti mati berukir berhiaskan rangkaian bunga. Tapi dengan sangat yakin bahwa jenasah bibi "nangkarak baeud", lelucon yang selalu dikelakar kan nya bila kami bertemu di rumah Pasundan. Saya tambahkan dengan kata2 dalam hati bahwa;"kalau bunga sudah dua meter di atas tanah segalanya  tak berarti lagi". Memasuki ruang duka yang benar2 dingin oleh wajah "sepa" sebuah keluarga besar. Sungguh suasana yang menciutkan nyali. Hera bersyukur karena telah telanjang dan tanpa beban, sehingga suasana dingin tak menambah dingin hati dan perasaan.
Berani tampil apa adanya dalam kondisi sulit dan terpuruk dan berani telanjang, membuat nyaman hidup tanpa beban.
Tak ada rasa manis asin asam pahit semua makanan yang masuk kerongkongan ini, rasa duka cukup menghampiri diri ini. Tak apalah wajah sepa dan dingin dari jenazah yang terbaring kaku dan tak bernafas lagi. Haruskah wajah sepa/dingin itu tampil pada wajah2 yang masih bernafas???. Tersenyum dalam hati dan wajah , hanya itu yang dapat dilakukan dan terjadi..... dan akhirnya tertawa.
Hati dan wajah ini sudah di terapi untuk tersenyum selama nafas masih ada di dalam tubuh ini. Terapi yang sangat mudah.....berani telanjang. Kepahitan hidup telah membuat Hera menemukan arti hidup yang sebenarnya dan menjalankan hidup yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang menyadari tak berdaya di hadapan sang pencipta. Waktu-waktu sulit yang di lalui membuat Hera semankin menyadari kebesaran sang pencipta dan menjadikannya kaya yang lebih hakiki dengan mendekatkan diri kepada sangpencipta. Saat nya mengelola hati dan mensyukuri semua yang terjadi di dalam hidup. Pasrah menjalani kehidupan yang masih harus dijalaninya. Hati yang memanjatkan doa berharap naik ke hadirat MU, doa tulus untuk orang yang di kasihi, tak berharap dikasihi. "Selamat jalan, bibi', terucap lirih di kamar hotel.
Maafkan lah suasana rumah duka itu terlalu dingin untukku yang telanjang.
Tapi...... malam sebelumnya.... astaga???.  Sebenarnya tak perlu menelanjangi ku, dalam hati Hera. Segala derita telah di tanggung nya dalam pengasingan. Menyadari hidup sendiri saat terpuruk dan sulit di dunia ini tanpa saudara ataupun kerabat yang mempedulikannya, membuatnya mendekatkan diri kepada sang pencipta. Sebatang kara......
Hanya karena ingin mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya pada dimensi yang berbeda membuat Hera melangkahkan kakinya ke Bandung. Dengan berharap tak ada insiden penganiayaan yang pernah dirasakan sebelumnya bila keluarga besar itu berkumpul. 
'elu tahu ngak kalau bibi sakit tuh karena elu telp mau ke Bandung', sergah Tian kepada Hera..
‘Bibi tuh sakit karena lu telp mau ke Bandung”, vonis telah di jatuhkan untuk Hera..
Hera  tertawa tak peduli, dengan wajah nya yang menantang.
“Nomor telpnya saja tidak tahu, telp...?  Ha ha ha.... sesuatu yang mustahi”, jawan Hera ringan.
[fitnah tuh..... kacian deh di fitnah yaaaaa, tapi ngak perlu malu 'kan sudah telanjang jadi mau nempel di mana tuh fitnahan...huaa haa hhhhh.......]
"dan seharusnya elu tuh sadar, bibi teh sakit hati  ama elu", lanjut Tian lagi.
"dan  kalau elu sadar, sekarang elu harusnya minta maaf ama si Monne”, sergahnya lagi,  antusias sekali.
“Dan juga minta maaf kepada yang lainnya”, lanjut Tian merasa bijaksana na na na ....
 Hera menatap wajah Tian lamat-lamat dan terpancing juga emosi yang ingin disimpannya.
"apaaa",
"sakit hati......", seru Hera dan huaaa haa haa haa..... jadi seru nih.
“minta maaf???”, lanjutnya pula dengan mimik wajah heran.
“wuahhh elu belum sadar”, imbuh Tian  memancing emosi Hera.
“maaf????..... apa salah gua???...... hanya karena jatuh miskin yang membuat mereka menjauhiku dan sekarang minta maaf???...... mereka yang berhutang kepadaku”, jawab Hera agak emosi.
"eeehhh.... lu, kalau  mau juga gua yang sakit hati, telah diperalat untuk mencapai keinginanan nya karena melalui rasa sayang dan keberanian yang saya miliki", jawab Hera lantang..
Jujur saja deh kalau kalian hanya berani bicara atau dengan kata kasar “bacot”  kalau kata ocoh mah], tak berani bertindak. Ambisi mencapai tujuan dan tak mau berisiko dan elu2 kira gua badan asuransi, menanggung risiko ambisi kalian dan sayangggg..... deposito dan asuransi ku ada pada TUHAN YME.
TUHAN pecipta langit dan bumi yang maha adil dan bijaksana lagi penyayang.
"dan elu tahu gua korbankan diri gua dan sejumlah uang yang tidak kecil nilainya untuk membuat mereka hidup nyaman di tempat yang layak huni dan tidak banjir lagi dengan segala fasilitas yang gua sediakan, mengharapkan kata terimakasih saja tidak".
"minta maaf?????", dengan kepala yang di tunjuk sergah ku sambil berdiri.
Huaaaa haaaa haaaa........ minta maaf karena miskin?.
“Telah kumohonkan maaf kepada TUHAN ku”, lirih Hera.  
“Sekarang pikirkanlah, kalau seandainya saja dirimu yang menjadi aku”,  usul Hera menantang. Sanggupkah Tian berkorban seperti diri ini.
Tidaakkk.... karena kekayaan hakiki yang aku miliki tak dapat terselami dan tak dapat kalian nilai, hati yang lapang dan luas yang telah kusediakan untuk orang2 tercinta yang kusayang.
Maaf  telah saya mohonkan kepada TUHAN YME untuk mereka yang membenci dan menyayangi,dan kusimpan di hati ini.
Hanya sedikit review dan evaluasi yang membuat huaaa haaa haaaaahhhhhhh.......
Tak sepotong batu pun harta siapapun selain milik Hera yang digunakan untuk memfasilitasi Pasundan, rumah tempat Hera di besarkan dan menyendiri di para2  untuk melihat ke bawah menyaksikan tingkah laku se isi rumah di mana Hera bisa tahu yang sejujurnya apa yang mereka bicarakan tentangnya. Dan pohon jambu klutuk di depan rumah tempat Hera duduk belajar di ranting-rantingnya yang kokoh. Indah untuh di kenang.
Telanjang itu menyenangkan ..... dingin memang, tapi matahari pasti akan bersinar menghangatkan tubuh telanjang ini melalui celoteh cerewet anak2ku yang kusayang. Dan betapa kaya nya, sudah membangun keluarga kecil ini dengan bahagia  yang tak dapat di nilai dengan materi.
Untuk dapat  hidup telanjang di butuhkan keberanian untuk hidup jujur dan menyusuri jalan yang pasti dalam hidup ini. Tak ada penyesalan walau telah kukorbankan hampir seluruh hidup ini demi mereka yang membenciku.
Bandung yang dingin membuat ku sakit. Terbaring telentang menghadap langit-langit hotel, sendiri....  sepi dan berteman dengan bayangan. Kukenang indahnya memiliki teman2 lama yang setia dalam kondisi sangat terpuruk seperti inipun.   Dan aku merindukannya.
Alya .... terimakasih yang sebesar-besarnya dan rasa hormat yang sebesar-besarnya pula kusampaikan untukmu, adikku yang memiliki keberanian bersahabat denganku yang telah jatuh miskin.
Yang telah mengelus-elus  punggungku saat aku di telanjangi.
“Bagus juga mereka takut padamu Hera”, ucap Alya menghibur,
“Jadi  mereka tak akan datang lagi untuk meminta”, lanjutnya lagi.
Hera tersenyum melihat  mimik celoteh adiknya.
“iyaaa tak ada waktu untuk memikirkan kebencian dan iri hati, hati ini sudah berusaha di bersihkan dan pandangan menatap ke depan berjuang selama nafas masih ada dalam raga demi anak-anak, berjuang demi keluarga telah kuselesaikan”, ucap Hera lirih.
“Jadi kita ke mana nih, bagaimana kalau kita beli pakaian”, usul Alya berusaha menghibur.
Hera menyetujui dan mereka berjalan menyusuri jalan Dago sampai Setia Budi menikmati indahnya malam minggu di Bandung yang dingin.
Menjelang tengah malam Hera dan Alya kembali ke hotel dan tertidur pulas kelelahan.
Kuucapkan “selamat jalan bibi, semoga TUHAN mengampuni segala dosa dan menerima bibi di sisiNYA”, lirih Hera.
Maafkan kami berdua kembali ke Lampung dan Bekasi tanpa pamit, karena udara Bandung yang dingin semakin dingin oleh wajah-wajah sepa yang tak meninginkan kami.
Selamat tinggal Bandung..................... pasti aku kembali.
Betapa bodohnya Hera, tanpa di sadari telah diperalat bibi nya untuk mencapai keinginannya memiliki rumah keluarga.
Hera sempat mengusir ayah nya dari rumah itu dan juga adik laki-laki nya, Anto.
Anto lah yang membantu mengurus renovasi rumah keluarga itu.  Ternyata di saat duka yang hening ini pikiran Hera menerawang jauh. Banyak sekali korban dari orang yang tampak tak berdaya ini. Bibi nya adalah seseorang yang tampak sangat penyayang kepada siapapun keponakannya, dan ia memiliki seorang anak yang sangat dimajakannya.
Orang yang tampak tak berdaya itu lebih berbahaya , sadarilah Hera dalam lautan dapat di duga isi hati tak pernah terselami. Seperti ciuman Yudas  kepada Yesus.
Tak ada sumpah serapah atau penyesalan, terjadilah seturut kehendakMu. Tapi bila saja seandainya dapat mencegah orang lain celaka bukankah membuat arti dalam hidup ini. Kita dapat berdoa bersama-sama, tapi dosa di tanggung masing-masing. Hati adalah cerminan jiwa. Tak ingin rasanya mengotori hati ini dengan perasaan-perasaan yang tidak baik. Walau sering kali kebaikan yang dilakukan tak selalu memberikan kebaikan.
Hera jadi teringat saat menolong nenek-nenek tetangga nya yang hidup sebatang kara pergi berobat ke klinik di daerah Senen, hp satu-satunya yang dimiliki nya di copet orang di dalam mikrolet di Matraman saat nenek itu terbatuk-batuk dan Hera sibuk menolong nenek itu. Nafas panjang yang hanya dapat dilakukan Hera, dan memandang langit mengucap syukur kepada Sang Pencipta yang menjadikan bumi ini tumpuan kakinya. Niat baik ataupun kebaikan yang dilakukan belum tentu memberi kebaikan kepada kita. Hera hanya tersenyum mengenang kejadian itu. Berbuat baik saja seperti itu, apalagi berbuat jahat, pasti lebih mengerikan. Hera menghibur diri sendiri  untuk tidak jera berbuat baik, apapun hasilnya.
Oma warung pemilik warung disebelah kontrakan Hera sampai bingung melihat cara Hera hidup. Oma sempat pula mengatakan kepada Hera, “Oma mau belajar hidup seperti Hera, walaupun kita berbeda agama yaa...”. Hera hanya tersenyum saja. Persahabatan singkat di rumah kontakan di Cililitan sangat membekas di hati orang-orang sekitar. Membantu merapikan warung Oma dipagi hari dengan sindiran digaji 30 hari sebulan, bermain layangan di sore hari menemani Utu anak bungsunya yang berusia 13 tahun. Si bungsu yang protes karena malu mama nya bermain layangan. Alasan Hera ikut bermain layangan adalah mendekatkan diri kepada dunia anak nya dari pergaulan yang mengerikan,NARKOBA. Akhirnya Utu dapat menerima mama nya bermain layangan bersama teman-teman sebaya Utu. Sore yang seru mengadu layangan memandang  caklawala luas bebas lepas tertawa.  Yang ada di benak Hera adalah bagaimana kita bisa memberi dalam kekurangan, kalau kita bisa memberi dalam kelimpahan tak berarti lagi karena sudah selayaknya, tapi bisa berbagi dalam kekurangan tak semua orang mampu dan menginginkannya. Hera sangat bersyukur memiliki pendamping  hidup yang mengajarinya “bagaimana” hidup di dunia ini.
Hera tersenyum .... di mana pun ia berada , orang-orang yang ditemui nya ingin memiliki karakter seperti Hera.
Sekretaris yang cantik, Kiki. Tinggi semampai  dengan kulit kuning langsat menemani kami duduk di ruang tamu kantor itu.  “Enak ya jadi mbak Hera”, ucapnya lirih setelah memenadangi Hera dari ujung kaki ke ujung rambut yang langsung di sergah mas Ibnu, “Kamu mau jadi Hera???, ngak bisalah”.
“ngak mungkin bisa dan ngak mungkin sanggup”, di ulangi nya lagi dengan antusias.
Suatu sore yang indah di depan warung di kota Pekan Baru yang panas.
“Mas Ibnu, kalau ketemu preman di palak atau malak”, tanya Hera hati-hati.
“Dipalak lah...”, jawab Mas Ibnu dengan logat Melayunya.
Hera tersenyum mendengar jawaban Mas Ibnu.
“He ..he .. he..., Mas jangan bilang-bilang yaaa.... preman sungai Siak yang aku palak”, ucap Hera jenaka. Mas Ibnu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Koq bisa”, lanjutnya lagi.
“’kan pakai ilmu kudu”, jawab Hera tertawa renyah.....
“Saya mengenalnya saat ingin bunuh diri dengan menceburkan diri ke sungai Siak, tapi membayangkan buaya yang pasti besat.... woooww mengerikan”.  Akhirnya saya ketemu Benny yang mengajak naik rakit ke sebrang. Kami berbicara lama dan mengurungkan niat bunuh diri saya dan kami berteman.
“Sakit hati kepadaku”, guman Hera dalam hati.
Setelah segala yang Hera perbuat berseteru  dengan seisi rumah karena setiap saat mengunjungi rumah Pasundan bibi yang selalu mengeluhkan kelakuan penghuni rumah yang lainnya. Sekarang rumah dengan tujuh kamar itu kosong dan hanya dihuni keluarga bibi yang berjumlah tiga orang. Puas sekali dapat mencapai keinginannya. Sekarang raga terbujur kaku tak bernafas lagi, meninggalkan masalah yang tak terselesaikan. Yang memang tak ingin diselesaikannya. Hera pernah mengirimi uang untuk membayar notaris dan mengembalikan kepemilikan rumah itu kepada yang sesungguhnya ber hak... empat orang, bibi dan tiga orang kakaknya. Uang kiriman Hera di sia-sia kan begitu saja dengan berfoya-foya dengan alasan yang sederhana... uang nya habis di pakai jalan-jalan.
Ah... bibi seandainya saja mau mengerti perasaan ini, tidak ada rasa ingin memiliki di diri ini sedikitpun. Hanya karena pesan Ferdy yang mengatakan,” tolong mam... kasih tahu bibi untuk tidak serakah dengan mengambil hak orang lain, karena kalau nafas sudah tidak ada dalam raga dan menangis melihat kehidupan anaknya di dunia”. “tak ada yang dapat dilakukan lagi”.
Hanya rasa sayang kepada bibi, semua itu di ingatkan Hera.
Bertahun-tahun sebelumnya Ferdy mengajari Hera untuk tidak serakah. Karena keserakahan adalah bencana. Berapapun materi yang dimiliki manusia tak akan pernah cukup. Kekayaan itu bagaikan air laut yang hanya akan menambah dahaga saat meminum nya dan keserakahan untuk meminum semuanya. Ajaran yang sangat sederhana bahwa rejeki yang kita dapatkan ada  rejeki orang lain yang melalui kita,
Sejak pertaman Monne menghirup nafas di dunia, Hera lah yang menggendong nya dari rumah sakit dan Hera sangat menyayanginya. Apapun yang di butuhkan Monne, Hera akan berusaha untuk dapat memenuhinya hingga Monne menginjak remaja dan mengumbar kata serapah kebun bintang yang membuat Hera terhenyak dan sadar dari mimpi nya. Bahwa tak ada nilai nya sama sekali perbuatan yang dilakukannya sebagai rasa sayangnya.
Badan yang sudah kurus sekali, penyakit kanker menghabiskan rambut  indahnya yang hitam bergelombang. Trenyuh Hera melihat kondisi kakak nya  seperti itu.
“Hera... bagaimana anak-anakku, mereka mau tinggal di mana???....”, ucap Yanti lirih sangat memelas. Ahh... semua itu t’lah berlalu.
“Mam..., emangnya ngak malu melihat rumah Pasundan sudah hampir roboh begitu dan jangan lupa pula janji pada almarhumah kakakmu, Yanti”, ucap Ferdy  di suatu sore.
“He... he.....mau gimana lagi Pap”, jawab Hera sedikit malu.
“Betulin dong.... ngak usah takut dengan rezeki”, lanjut Ferdy lagi.
“Iyaaa... ya, bagaimana kalau ma jual ketiga gelang berlian ini”, jawab Hera sambil mengeluarkan kotak perhiasannya.
Tiga gelang berlian itu ternyata hanya cukup untuk merenovasi bagian dapur saja.
Renovasi rumah yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, nilai ratusan juta rupiah  dikeluarkan Hera dari kantungnya.  Dan hal itu bukan masalah kalau saja di antara keluarga itu bisa saling menghargai sebagai manusia.
Rumah sudah tampak nyaman, tidak mewah tapi sudah tidak kebanjiran lagi. Putus langganan banjir yang selama ini sangat membuat lelah seisi rumah.
Aku mencintai dan menyayangi saudaraku dan sahabat-sahabatku...... Hera.
Bekasi , 6 Pebruary 2012.

No comments:

Post a Comment