Friday 10 August 2012

BEBAS

Rumah Pendeta Eleana Sahetapy ramai di kunjungi orang.

Tampak beberapa orang sibuk menelpon dengan telpon genggam mencoba menghubungi Marna yang sedang mancing di sungai hutan pedalaman yang berjarak empat jam perjalanan dari kebun.
Herra Puk tergolek lemah di tengah ruangan. Orang-orang menangisi keadaan Herra Puk yang lemah tak berdaya.  Mereka mencoba memberi minum teh manis hangat dengan sendok kecil. Berkali-kali mereka mencoba menyuapkan sendok dan tak berhasil. Lidah Herra Puk terkunci, sehingga sesendok airpun tak dapat di telan. Hanya sesekali matanya terbuka dan berlinang air mata. Badannya tergolek lemah. Mereka memanggil Mantri petugas kesehatan di kebun dan memeriksa keadaan Herra Puk.
"Julurkan lidah nya bu", kata Mantri itu.
Yang di jawab gelengan kepala lemah Herra Puk. Hanya airmata yang mengalir deras membasahi kedua pipinya. Pak Mantri memeriksa tekanan darah dan menghitung denyut nadi Herra Puk, sambil menunggu ambulans dari klinik kebun.
Dengan ambulans Herra Puk di bawa ke klinik kebun untuk mendapatkan perawatan yang lebuh baik.
Orang-orang mengelilingi ranjang tempat Herra Puk di rawat.
Dengan gerakan tangan Herra Puk meminta kertas dan alat tulis.
Herra Puk menulis ," Tinggalkan saya sendiri di kamar".
Orang - orang bingung membaca tulisan Herra Puk dan satu persatu meninggalkan ruang rawat Herra Puk.
Herra Puk mengerahkan seluruh tenaga untuk dapat duduk bersila.
Sambil memejamkan mata Herra Puk duduk bersila dan berdoa.
Herra Puk merasakan kehadiran Paulus alm. suaminya yang telah meninggal dua tahun lalu, memberikan sebuah pedang yng halus panjang.
Tangan kanan Herra Puk terangkat kuat seolah menyambut pedang yang di berikan, dan menghunus pedang itu. Dengan seketika kekuatan Herra Puk kembali. Herra Puk merasakan badan  nya  segar dan kuat. Herra Puk tersenyum, turun dari ranjang dan membuka  pintu kamar.
Orang-orang bingung melihat kejadian itu. Atas saran semua orang, agar Herra Puk tidak di izinkan kembali ke rumah. Herra Puk tinggal di rumah Pendeta Eleana.
Herra Puk sangat berterimakasih kepada umat gereja di kebun yang peduli.
"Maaf, boleh saya bertanya sedikit", kata Pak  Pendeta hati-hati.
Herra Puk tersenyum menganggukan kepala.
"Apakah ibu sudah menikah dengan Pak Sumarna".
"Belum".
"Saat saya masih di Pekan Baru , Pak Sumarna bilang kami menikah dengan tetap pada agama kami masing-masing".
"Tapi sebelum berangkat ke kebun ini Pak Sumarna mengajak untuk nikah secara Muslim dan saya minta waktu untuk memikirkannya".
Orang-orang yang mendengar merasa prihatin dengan cerita Herra Puk.
Mereka berembuk dan sepakat untuk berdoa membebaskan Herra Puk dari kuasa gelap yang menimpa.
"dalam nama Tuhan Yesus Kristus dengan bilur-bilur Mu dan darah Mu yang kudus tahirkanlah hamba Mu".
Pak Pendeta mengajari Herra Puk mendaratkan doa singkat agar terbebas dari kuasa gelap.
Saya tidak mengerti  apa kesalahan yang saya perbuat , bulan lalu Sumarna menyandarkan saya dengan kasar, mencekal leher  untuk mencekik.
"Kalau memang saya datang ke Kalimantan ini untuk jadi pembunuh, saya akan membunuhmu", teriak Herra Puk saat lehernya terlepas dari cekalan Sumarna.
Sumarna membujuk Herra Puk dan minta maaf.
"Jangan kasar pada saya, saya mudah untuk memafkan".
"tapi tidak untuk yang menjaga dan mengasuh saya".
Herra Puk mengingatkan Sumarna atas tindakan kasar terhadap dirinya.

Hari berlalu seperti biasa, suasana perkebunan yang hening dengan pamadangan palam yang indah.
Sejauh mata memandang, alam tampak hijau pohon kelapa sawit.
Istri Pak Sukron anak buah Sumarna datang menjemput.
"Bu, di panggil ke klinik", Maya menjelaskan.
"Tungggu sebentar".
Ketenangan Herra Puk, membuat Maya gemas.
Orang-orang panik melihat wajah Sumarna yang penuh berlumur darah.
Dengan tenang Herra Puk membantu membersihkan darah  di wajah Sumarna.
Tulang bahu Sumarna retak dan satu tulang rusuk patah.
Sumarna terjerembab ke jurang dan terbentur tongggak kayu saat berbocengan, Supri anak buah yang di boncengnya tak terluka sedikit pun.

Saras istri  Pak Abed orang Dayak sampai mengatakan, "Bu kenapa sih, kalau Pak Sumarna marah kepada Ibu selalu dapat celaka?".
"Saat marah pada Ibu waktu bulan lalu, masak sih motor yang sedang di cuci terjungkir dan semua kaca spion dan lampu-lampu pecah", Saras bertanya dengan heran.
Herra Puk tak dapat menjawab yang ia sendiri tak mengerti.

Keadaan yang sangat tidak menyenangkan sering diterima Herra Puk.
Suatu malam Herra Puk berniat untuk menceburkan diri  di sungai Seruyan.
Malam itu Herra Puk keluar dari kebun menuju jalan raya, Malam gelap gulita, jalan raya tanpa penerangan. Tak ada aliran listrik. Tanpa rasa takut sedikit pun Herra Puk berjalan menyusuri jalan menuju sungai Seruyan.  Herra Puk merasa  tak sanggup hidup dalam keadaan seperti ini.
Herra Puk melambaikan tangan saat melihat lampu motor dari kejauhan.  Pengemudi motor menancap gas dengan kuat melewati Herra Puk yang bingung.
Herra Puk berdiri di tengah jalan sambil merentangkan tangan dan membuat truk besar berhenti tepat di depannya. Herra Puk meminta izin untuk dapat menumpang.
Herra Puk mendapatkan tumpangan menuju sungai Seruyan.
"Mau kemana bu".
"Sungai Seruyan", Jawab Herra Puk singkat.
"Wah tidak, saya tidak akan menurunkan ibu di sungai Seruyan".
"Saya akan bersalah kalau terjadi  sesuatu dengan ibu".
Truk melaju melewati sungai Seruyan dan Pak sopir tak mau berhenti.
Truk berhenti di sebuah warung agak jauh dari sungai Seruyan.
Herra Puk turun dari truk dan menyebrang, menunggu truk di arah yang berlawanan.
Herra Puk melambaikan tangan dan truk pun berhenti di depannya.
Herra Puk kembali menumpang truk .
"Kemana bu", tanya sopir truk itu.
"Ke kebun Pak".
"Kami tidak lewat kebun, tapi ibu bisa turun di pertigaan", jelas supir truk.
Herra Puk turun di pertigaan sebelum truk itu belok ke kanan.
Waktu menunjukan pukul satu tengah malam.
Herra Puk melihat warung masih buka. Di belinya beberapa kaleng sprite.
Herra Puk berjalan ke tengah jalan dan  memanggil ojeg.
Dengan ojeg Herra Puk melanjutkan perjalanan menuju kebun.
Herra Puk menyelinap masuk kembali ke dalam rumah  yang kosong.
Di keluarkannya obat tidur yang ia minta berkali-kali dari klinik di kebun dengan alasan tak bisa tidur.
Empat puluh butir obat tidur di tegak nya sekaligus dengan sprite yang di beli di warung tadi.
Herra Puk tertidur.
Sumarna tak mempedulikan apa yang terjadi pada Herra Puk.
Bu Teguh datang kerumah Herra Puk untuk menolong.
Herra Puk sudah sangat tidak tahan dengan keadaan yang di hadapinya.
Dengan bantuan Bu Teguh, Herra Puk mengemas sedikit barang yang akan di bawa. Herra Puk di bonceng Bu Teguh kerumah Pendeta Eleana Sahetapy.

Perasaan lega saat  Herra Puk dapat menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya kepada Pak Pendeta.
Sudah  dua hari Herra Puk tinggal di gereja kebun.

Malam itu Sumarna menjemput Herra Puk.
Setelah meminta izin dan mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Pendeta, Herra Puk pamit.  Pak Pendeta mengiring kepergian Herra Puk dengan doa.

Herra Puk  mau mengikutinya asal di izinkan ke Jakarta, yang disetujui Sumarna.
Sumarna mengantar Herra Puk ke bandara Sampit.
Pendeta Eleana Sahetapy menciumi Herra Puk sambil berbisik,"TUHAN menyertaimu selalu".
Herra Puk sangat berterimakasih.
Herra Puk kembali ke Jakarta dan entah hendak kemana??
WElcome to the jungle.


No comments:

Post a Comment