Tuesday 23 February 2021

Hidup di dampingi ku Karuhun Tatar Sunda

 "Eyang dongkap ka Nyai, ngajarkeun ka Nyai kumaha cara  hirup di dunya"

Lega rasanya......,Situs Gunung Padang di akui dunia. Dan yang pasti Tatar Sunda akan tetap jadi misteri. Senyum Eyang Sakadomas.

Gunung Terang, Metro Lampung. 20 October 2016.
“Ngahaturkeun haturnuhun sareng haturhormat nu saageng-agengna ka Gusti Allah nu mahaluhung”. 3x“
“Ngahaturkeun haturnuhun sareng haturhormat nu saageng-agengna ka sakabeh Eyang anu aya di KaRaton nagaRA goib Tatar Sunda”. 3x
“Ngahaturkeun haturnuhun sareng haturhormat nu  saageng-agengna ka Ibu-Rama”.
“Ngahaturkeun haturnuhun sareng haturhormat nu saageng-agengna ka murangkalih”.
“Ngahaturkeun haturnuhun sareng haturhormat nu saageng-agengna ka sadayana, rai raka, dulur sarang sanesna, nu parantos maturan di ziarah ieu”.

Menjalani kehidupan yang sering ku sayang dan ku benci.
Masa kecil yang indah dan masih terkenang dalam benak ini.
Seorang ayah dari Sei Pinyuh Kalimantan  berdarah Dayak Iban, Mongol, dengan Ibu yang berdarah Cina, Sunda dan Padang.
Rasanya lengkaplah sudah di temani seorang yang sangat menyayangiku  berdarah Minahasa dan Timor, kayaknya sih gado-gado Indonesiat banget.

Sampai gadisku mengatakan,”Masakan di rumah teh seru banget, masakan Cina, Sunda, Padang, Manado dan sayur daun singkong resep kakeknya yang ... wuih enaknya”.
Aku hanya tersenyum.

Masa kanak-kanak di jalan Pasundan yang indah. Pohon Jambu klutuk di depan rumah tempat aku belajar dan mengerjakan PR sekolah. Rantingnya membentuk kursi yang nyaman untuk aku duduk dengan aman sambil mengintip jambu yang sudah matang.
Rumah akan sangat ramai di kunjungi orang saat ayah melakukan upacara “potog lidah”, adat Dayak?.
Masih terbayang di benakku, Tanteku sepupu ayah yang cantik dengan bola mata yang bewarna hijau, atau saudara ayahku yang berkunjung ke Bandung dari kampung. Mereka memiliki kuping yang sangat panjang.  Mencapai kursi saat di duduk. Anak kecil, hanya memperhatikan saja tanpa mengerti apa-apa.
Serunya lagi, buyut ku sibuk sendiri setiap hari Senin dan Kamis aku menemaninya menunggu si Mas dengan sepeda ontelnya mengantar “rujakeun dan seupahan”.
Rujakeun terdiri dari sepotong kelapa, pisang, asem Jawa dan gula merah.
Seupaheun terdiri dari sirih, gambir, saga, cengkep, kapulaga, kapur dan tembakau.
Di tambah bunga tujuh rupa yang harum baunya di taruh di dalam gelas dan di beri air,   di lengkapi dengan pisang kapas.
Aku sering membantu buyutku menyiapkan sesajen.
Di atas baki lengkaplah sudah, segelas kopi pait, kopi manis dan air putih. Di sajikan di atas pandaringan(tempat menyimpan beras”. Disajikan sebelum magrib tiba.
Dan di lanjutkan dengan membakar “purupuyan”, yaitu arang kayu yang di bakar di anglo kecil sampai “ruhay”. Bila api nya sudah padam yang ada hanya baranya saja, Nuyutku menaburinya dengan sedikit-sedikit kemenyan...... dilanjutkan dengan berkeliling ke semua ruangan menyabarkan bau semerbak dan asap putih. Setelah selesai, “purupuyan" itu di simpannya di atas pendaringan bersama sesajen yang tadi di tata. Pagi harinya, adalah jatahku minum segela air putih yang ada di atas “pendaringan”. Buyutku yang mengambil gelas berisi air putih di atas “pendaringan” dan ia komat-kamit membaca doa/mantra. (aku ngak tahu apa yang di lafalkannya, karena ngak kedengeran, hanya melihat mulut nya saja yang komat-kamit). Masih belum selesai.  Karena pisang kapas nyapun jatah untuk aku makan. Jadi sarapanku setiap hari Selasa dan Jumat adalah segelas air putih dan pisang kapas hasil sesajen. Dan  itu  aku lakukan semasa buyutku masih hidup. Setelah beliau wafat.... saya tidak pernah lagi menikmat segelas air putih dan  pisang kapas yang enak.
Buyutku melanjutkan ritualnya dengan menyiramkan kopi dan bunga tujuh rupa yang di sajikan didalam gelas di pekarangan rumah, tetap sambil komat-kamit.
Selanjutnya ayahku sering mengobati orang sakit. Membayangkannya saat ini, memang aneh juga cara pegobatannya.
Satu blek miyak goreng di panaskan dalam wajan besar sampai mendidih, dan di siramkan kepada si sakit dalam keadaan panas mendidih dengan menggunakan bunga pinang jambe yang biasa di beli di tukang “rampe”. Aneh memang, tidak ada luka bakar sedikitpun.
Karena acara itu sering dilakukan, jadi rasanya menjadi hal yang biasa saja.
Dan ayah ku sering menyuruhku mengambill lumut yang menempel di tembok sebagai obat.
Dan kalau kami pergi ke Ciater kami mengumplkan lumut yang menempel di batu(mirip acara ritual yang dilakukan di Baduy Kanekes).

Karena kami sekolah di sekolah Kristen/Katolik yang memberitahukan dan mengajarkan kami sembahyang kepada Tuhan Yesus sebagai juru selamat dari api neraka(asuransi kebakaran), kami anak-anak meninggalkan  semua tradisi/ritus traditional orangtua kami. Yang kami sesali kemudian, setelah tahu tentang doktrin  terselubung dalam ajaran agama.
Apalagi pada kenyataannya, mitos atau legenda itu adalah kejadian yang sesungguhnya yang pernah terjadi.  Sekarang terlambat, ternyata “nyuguh”, yang di lakukan buyut saya adalah hal positif  sebagai ungkapan rasa hormat dan terimakasih kepada alam dan leluhur.
Saya menyesal percaya “ucapan”, ajaran agama yang mengatakan ritual sesajen “menyembah setan”.
Sekarang saat saya ingin kembali, sudah terlambat.
Karena saya tidak pernah minta untuk di ajarkan “komat-kamit” yang  di lafalkan buyut  atau  bertanya pada ayah upacara potong lidah itu untuk apa dan bagaimana?. TERLAMBAT.
Semuanya telah pergi ke alam lain.........

Menikah dengan seorang pria berdarah Minahasa-Timor yang juga kental dengan tradisi leluhur TONAAS/OPO-OPO, memiliki ritual yang tak berbeda jauh. (saya minta izin untuk mengambil foto ini).

Kembali lagi kepada masalah agama,  kami memutuskan ber”agama” Katolik, kami meninggalkan semua tradisi orangtua kami.

Saat kami menghadapi masalah yang agak aneh(ayah mertua muntah darah), adik-adiknya membawa ayah mertua ke rumah sakit Carolus, dan kami berdua pergi ke patilasan Opo Dotulong di Marunda, Cilincing Jakarta. Kami membawa bunga gladiol, suami saya bersimpuh di ujung patilasan sambil berdoa.
Kami mendengar berita bahwa ayah sudah tidak muntah lagi sebelum saya tiba di rumah.

Dalam hati saya terucap rasa terimakasih dan hebat euy.....













Kami berteman baik dengan juru kunci patilasan Eyang Wijaya Nata Kesuma,  Aki Sula di daerah Cipanas Cianjur.  Aki Sula membawa kami pergi ke Kutamaneuh di kaki Gunung Guruh, Sukabumi. Menurut Aki Sula, Kutamaneh adalah pintu utama KaRAton nagaRA goib  Tatar Sunda. Hal aneh di temui di sana. Suasana gelap gulita dan pamali untuk menyalakan api/penerangan. Kami berjalan menyentuh batu???, saya tempelkan pipi ke batu???, bukan batu!, ini adalah dingin logam.  Saat saya cerita sebagai laporan dan di sambut dengan ssstttt yang berati diam!!. Saya hanya tersenyum.

Anak-anak kami tinggalkan di rumah Aki di jaga oleh Nini. Saat kami pulang anak-anak lapor bahwa mereka baru pulang bermain di dalam lautan???. Padahal mereka rmain bermain/berjebur di kolam ikan di samping rumah Aki. Mereka di asuh berain di dasar laut. Haturnuhun Ibu!. Hanya itu yang saya ucapkan dalam hati.

Jembatan kecil menuju Istana Cipanas dari Mesjid di samping Istana di tutup. Saya sangat marah dan  membuang muka setiap saya lewati Istana Cipanas. Baru beberapa meter, mobil yang kami tumpangi di stop polisi. Polisi itu  hanya menanyakan arah tujuan kami. Kami jawab saja mau kerumah Aki. Yang anehnya  adalah logat polisi itu berbicara dan suaranya persis dengan suara Bung Karno, Presiden.
Sesampainya di rumah Aki, “Kenapa marah-marah”, kata Bung Karno.
Saya ceritakan, saya marah karena saya tidak bisa andi air panas lagi di istana. Mereka hanya tersenyum.
Aki mengatakan bahwa saya dan suami saya seharusnya sudah meninggal, dan sekarang sedang “nilem”.  Maaf kami tidak mengerti.

Seorang nenek-nenek yang nyaris buruk rupa berjalan kelelahan. Kami memperhatikannya dan dia berjalan ke arah kami. Dia bercerita bahwa ia sedang berjalan mau pulang kampung. Wawan, suami saya langsung mengeluarkan semua uang  ada di sakunya, Abah temannya melarangnya.
”Biasa itu mah cuma alasan”, kata Abah.
Wawan tidak menghiraukannya.
Nenek itu bercerita,bahwa kampungnya di daerah Karawang dekat rel kereta, desa Talaga Sari. Nenek itu mengundang kami ke kampungnya. Pikir saya itu adalah hal yang mustahil, melihat keadaan kami yang sedang prihatin. (pikiran manusia).
“Nyai.... itu suruhan Eyang, sekejap matapun sudah tidak akan kelihatan”, ucap Ibu Nyi Mas Ayu GandaSari dengan suara lembut. Haaahhhh.... terperangah.
Selang beberapa hari paman ku dari Kerawang datang berkunjung, kami mengantarkan mereka pulang ke Karawang kota. “Kita ke rumah Mang Bajing”, ajaknya bersemangat.
Mobil melaju menuju rumah Mang Bajing..... melalui rel seperti yang di ceritakan nenek-nenek waktu itu. Pos Desa Talaga Sari, saya terkesima membacanya. Sampailah kami di desa Talaga Sari. Mang Bajing sedang tidak ada di rumah. Akhirnya Bibi sibuk memasak, memotong ayam, memetik dedaunan untuk kami makan. Katanya sabil menunggu Mang Bajing. Anak-anak kami biarkan bermain keliling kampung. Utu datang dengan membawa sekeranjang peuh buah harum manis yang matang pohon, segar dan besar-besar.
“dikasih siapa”, tanyaku.
“kakek itu mah, tadi ketemu di jalan”, jawab Utu polos.
Tak sempat berpikir banyak, akau hanya mengiyakan saja.
Sesampai nya di rumah, “besok mau munggah puasa, makanya di hidangkan ayam untuk Nyai”, Ucap Ibu Ratu Nyi Mas Ayu Gandasari lembut.......  Haturnuhun..... hanya itu yang dapat terucap!.
“Nyai itulah pintu Wetan kaRAton nagaRA goib Tatar Sunda”, jelas nya lagi!.
Aku bingung tak mengerti dan hanya bis mengucap “HATURNUHUN”.

Teman baik saya, tetangga meminjam mobil untuk mngajak anak-anaknya berwisata ke pantai Carita. Saya dan anak perempuan saya ikut serta. Kami diizinkan pergi asal yang nyupir Pak Subur.
Sesampai nya di pantai Carita, Keke nama anak kami langsung membeli serokan untuk mengambil ikan, murah hanya lima ribu rupiah. Penjualnya seorang anak laki-laki.
Saya tidak terlalu memperhatikan anak laki-laki itu. Ia datang kembali dengan botol kemasan air minum bekas yang berisi ikan “nemo” warna kuning hitam, anak cumi dan beberapa jenis ikan laut lainnya. Keke sangat gembira menerima pemberian itu. Riska merasa ingin memiliki nya juga dan ia minta kepada anak penjual saringan itu, ikut membeli saringan, “Nanti bayarnya kalau kamu sudah bawain aku yang kayak gitu”, sambil menunjuk botol bekas air mineral berisi ikan hidup. Anak itu berlari kecil.
Sore hari anak kecil itu baru kembali menagih uang saringan yang belum di bayar Riska, dan tidak
membawa apapun.
Sesampainya di rumah, “karena Nyai bawa anak kecil, yang gasuhnya juga anak kecil”.
Haaah..... saya terheran-heran dan baru sadar bahwa anak kecil yang membawa botol bekas air mineral berisi ikan-ikan cantik dan anak cumi itu bukan manusia biasa!!!. Saya hanya bisa berucap “Haturnuhun”.

Berlibur ke Bandung dan seakan belum lengkap kalau tidak pergi ke Lembang dan di teruskan ke Tangkuban Parahu. Cuaca mendung di dekat kawah Ratu. Kami tidak berani turun dari mobil. Tak lama kami di sana dan memutar arah balik ke Maribaya.
Pos loket Maribaya, smbil menunggu saya melihat sekeliling, ukiran wajah raksasa di dinding  dekat pintu masuk, saya tidak terlalu memperhatikan detail.
Sesampainya di rumah.
“Nyai, siluman berkeliaran di seputar Gunung Tangkuban Parahu dan Eyang menjaga supaya siluman itu tidak keluar/turun gunung, karena belum di bayar. Bisa berbahaya bagi manusia”.
“Eyang hidup di dunia saat kejadian itu, dan tadi Nyai melihat ukiran kepala raksasa di Maribaya?,  itulah penjara nagaRA goib Tatar Sunda, dan ada satu lagi!. Nanti bila tiba saat waktunya Nyai bakal tahu”, ucap Eyang Saka Domas.... lembut.
Tak ada kata yang terucap dari mulut saya, selain bengong tak mengerti!.

Perjalanan dari Bekasi ke Bandung melalui Purwakarta ..... Wanayasa..... SagalaHerang!.
“Nyai bersihkeun hate!”, ujar Prabu Kian Santang.
Bingung!, kami Katolik. Ritual di gereja adalah mendengarkan Pastur berkotbah, dan tidak pernah teringat dalam pikiran saya ajaran untuk memberihkan hati!.
Sing loba nga “doa”, nga “doa” ngadeuketkeun hate ka Gusti”, papatah dari Eyang Prabu Kian San Tang.

“Nyai ucapkeun doa “Ngahaturkeun hatur nuhun sareng hatur hormat nu sa ageng-agengna ka Gusti nu maha luhung”.
Yaaa Allah yaa Gusti Nyuhun keun hampura na............”, ajar Eyang Hasan Mughni.
Saya berdoa seperti yang di ajarkan, saya berdoa “ngahampurakeun” orang-orang yang membenci saya.
“tah kitu  Nyai sing bersih hate”, sapa Eyang Prabu Kian San Tang.
Ooooo... jadi maksud nya membersihkan hati adalah dengan memaafkan orang yang berbuat jahat kepada kita, pikir ku sederhana saja.
“Nyai, hati bersih, hati bodas, hate caang!, Hate Urang Caang hirup urang oge caang!. Hirup urang caang, SAGALA HERANG!”,tambah Eyang Prabu Kian San Tang.
Patitah, papatah sareng Talatah  yang adi ajarkan Eyang PRAbu Kian Sang Tang Dipati Anom CakRADiningRAt.


Astagfirullah.......
Nyai... eta mah basa Arab, basa Sunda na mah “Sukur, haturnuhun, hampura”, kata Eyang Wijaya Nata Kesuma.
Eyang Wijaya Nata Kesuma hidup di saat Bupati Cianjur I, Eyang Aria Wirata Nu Datar,  ayahanda dari Eyang Haji Surya  Kencana.
“Nyai  Eyang Haji bade dongkap, ayeuna Eyang Haji nuju di Cirebon”, kata Eyang Haji Surya Asih yang baik.
Hanya dalam hitungan detik Eyang Haji Sutyakencana sudah datang.
“Nyai nu kagungan rizki mah ihwal ti Gusti nu Maha Luhung”.
“Barokah ti Eyang”, kata Eyang Haji Suryakencana teh.
Haahh, tergagap bengong. Hanya ucapan terima kasih yang terucap dalam hati.

“Nyai ulah sieun rizki moal di putus”, kata Eyang Wijaya Nata Kesuma.
“Nyai ulah sieun ku duit”, ujar Eyang Prabu Kian San Tang.
“Ulah nyalahkeun kolot”, kata Eyang Prabu Kian San Tang.
“Sing tawakal Nyai“,kata Eyang Maulana Malik Ibrahim.
“Sing sabar”, kata Eyang SakaDomas.
“Hirup kudu di tata”, kata Eyang Haji Surya Padang.
“nulungan ka jalma nu  ngarti hatur nuhun”, kata Eyang Haji Surya Padang.
“Sing bageur, ........”, kata Ibu Ratu Prabu Galuh.

Eyang Nangka Beurit, “Eyang ngawakilan Eyang nu kolot ti Tatar Sunda masihan barokah ka Nyai”.
Ibu Ratu Prabu Galuh, “Ibu mewakili semua Ibu Ratu Prabu di Tatar Sunda, masihan barokah ka Nyai”.
Eyang Prabu Ciung Wanara,”Nancepkeun paku bumi teu izin”. (Tol km 91 yang longsor terus).

Eyang Wijaya Nata Kesuma, “Eyang di Tatar Sunda aya 1122, urang Tatar Sunda upami, 1 nya 1 upami 2 nya 2”. (maksudnya Orang Tatar Sunda Tegas dan jujur).

Eyang Watu Wangi
Eyang Purbajaya,
Mbah Buyut Sentayam,
Eyang Jaga Paksa,
Eyang Jaga Riksa,
Eyang Jaga Raksa,
Eyang Jaga Lawang
Eyang Gajah Panamur, Eyang nu ngatur gunug-gunung di Tatar Sunda
Eyang Sakti
Eyang Prabu Sakti
Eyang Mancala Putra Mancala Putri
Eyang Raden Merah Putih
Eyang Hariang Bangga
Eyang Kidang Pananjung
Eyang Hariang Kancana
Eyang Sanghyang Boros Ngora
Eyang Ibu Ratu Ni Mas Ayu Gandasari
Eyang Ibu Ratu Nyi Roro Kidu, Eyang nu kagungan lauk
Eyang Hasan Mughni
Eyang Prabu Belang
Eyang Prabu Sancang V
Eyang Jaya
Eyang Sulaeman Jaya
Eyang Haji Gelang Kencana/Mbah Jalun/Eyang Sulaeman Patih, Eyang nu ngatur cai 
Eyang Pandan Aran
Eyang Jubleg Putih
Eyang Pura-pura Kali

Di Gunuug Gede, sembilan Karuhun Tatar Sunda.
Eyang Haji Surya Kancana
Eyang Haji Surya Asih
Eyang SakaDomas
Eyang Prabu Ciung Wanara
Eyang Prabu Hariang Bangga
Eyang Raden Merah Putih
Eyang Pura-pura Kali
Eyang Jubleg Putih
Eyang Jabat Putih


Ngahaturkeun haturnuhun ka sakabeh Eyang anu aya di kaRaton nagaRA goib Tatar Sunda yang telah mendampingi saya ziarah di dunia fana ini.
“Nyai hirup di dunya mah ngan sakeudeung”, kata Eyang Wijaya Nata Kesuma.

Sampurasun…………………….Terimalah sembah sujudku.

No comments:

Post a Comment