Tuesday 16 February 2021

cerita belum berakhir.........

 Bandung adalah kota yang indah, penuh rasa syukur Bandung menjadi tempat kelahiran bagi Hera.  Gunung Tangkuban Parahu sangat akrab dengan matanya, karena setiap pagi Hera menghadap Utara melihat indahnya Gunung Tangkuban Perahu dari halaman rumah. Masa kecil yang indah, halaman rumah  tumbuh pohon buah-buahan. Mangga, alpukat dan jamu klutuk.  Di dahan pohon jambu klutuk tempat Hera  asyik bersembunyi atau untuk naik ke atap rumah.

Ranting buah bangkuang berebut pagar dengan buah paria dan kecipir disamping  pohon kacang roai. Tak ketinggalan pohon sirih, karena nenek setiap hari makan sirih.

Sekarang .....

Hera telah di makan usia. Rumah orangtua tempatnya dibesarkan sudah tak ada lagi, hanya ada dalam angan  menjadi kenangan. Rambutnya  memutih di makan usia, tapi masih tetap galak.

Kehidupan  harus dijalani,  penuh warna. Kehidupan Hera tak seindah dalam dongeng, jatuh bangun dijalani. Terjatuh, karena tak seorangpn di dunia ini mengharapkan kehancuran. Terjatuh dan  harus dapat bangkit untuk tetap melanjutkan  kehidupan. Saat berada di bawah karena terjatuh jangan pernah berteriak minta  tolong kepada saudara atau teman, karena di antara mereka ada yang bertepuk tangan saat melihat seseorang terjatuh. Jadi terimalah semua  hinaan dan celaan dengan lapang dada, lumayan juga untuk menbayar dosa atau kesalahan yang telah kita buat.  Atau hinaan dan celaan adalah anugrah dari Yang Maha Kuasa untuk menaikan derajat kemanusiaan(jalma.manusa).  Siapkanlah hati seluas samudra. 

Bersujudlah kepada Sang Maha Pencipta, bukalah tangan lebar-lebar menengadah ke langit. Berserah diri dan mengingatkan diri sendiri untuk tidak melupakan Sang Maha Pencipta di saat datang kesejahteraan.

Jatuh - bangun membuat Hera semakin kuat menghadapi hidup.  Sahabat sejatinya adalah diri sendiri, yang akan tetap ada menemani dirinya di saat suka atau duka. Menemukan kebahagiaan di dalam diri dan bersahabat dengan diri sendiri. Jatuh cinta kepada diri sendiri, dan menyayangi diri sendiri. Karena sesunguhnya manusia dapat menyayangi manusia lain setelah seseorang menyayangi diri nya. Karena seseorang menyayangi dirinya, dapat dipastikan akan menjaga dirinya dengan baik.Tidak akan mencelakai orang lain karena dirinyapun tidak ingin dicelakai. Segala tingkah laku akan diukurkan kepada diri sendiri. Berbicara dengan sendiri kepada diri sendiri, orang-orang menilainya sebagai "manusia gila atau tidak waras", atau sering dikatakan berkepribadian ganda. Tapi itulah kenyataan.

Hera mampu untuk tidak peduli dengan anggapan atau penilaian orang lain, tampak sangat egois. Itulah kekuatanya. Jalan hidup yang dipilih sering membuat orang tergagap.  Teman yang maaf"merasa" benar dan menuding jalan hidup yang dipihih Hera "salah". 

Hera hanya dapat tersenyum mendengar semua saran dan nasihat, dalam hati Hera berseru bahwa yang dibutuhkannya saat ini adalah sedikit rezeki untuk menyambung hidup bukan  "nasihat".

Terlalu lelah Hera menjelaskan apa yang telah terjadi pada dirinya, jadi Hera hanya akan tersenyum. Hera tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi terhadap dirinya yang nyaris tidak masuk akal.

Disadari oleh Hera, bahwa kehidupan yang dijalani bukanlah pilihan. Hidup mengarah kepada jalan yang tidak pernah  dibayangkannya. Keadaan memaksa kepada jalan yang harus dilaluinya, suratan takdir.......

Hera tak dapat memilih!!. Jatuh bangun  menjalani kehidupan adalah warna-warna yang mewarnai hidup. Tetap tegar, dua buah pantangan yang dilakukan Hera; Pantang mundur dan pantang menyerah!. Selama nafas masih ada cerita belum berakhir.

Badai dan gelombang hidup menjadikan Hera mampu berdamai dengan diri sendiri dan menerima kenyataan hidup apa adanya dan mengikutinya  air mengalir, penuh rasa syukur dan sukacita.

Bahagia ada di dalam diri, manusia sering terjebak dan terpenjara oleh pikiran dan cara keluar dan mengendalikannya adalah dengan pikiran itu sendiri.

Berkelanalah..... bukankah itu yang banyak dilakukan para pandita di zaman lampau  sebagai salah satu cara "BETAPA".

Betapa menyedihkan.

Betapa menyakitkan.

Betapa nelangsanya

Betapa sepi.

Betapa ....

Hingga sampai "nelangsa",  yang menjadi titk balik sebagai bendera perdamaian untuk diri sendiri. Hidup bukanlah angan-angan, hidup bukan hayalan. Hidup di dunia ini fatamorgana, semu.

Kenyataan harus dihadapai dijalani dengan "benar".

"Benar", ternyata tak mudah pula mencari ke"BENAR"an sejati.  Kebenaran sejati tersamar dalam   ke"SALAH"an opini masyarakat. 

Yaaa.. sudahlah. "it's my life", kata Bon  Jovi juga.

Berkelana.... sendiri!.

Musafir............

Sepenggal kalimat wayang golek;

Gusti nga dawuh ka dunya,:"Dunya mangga kuwasaan manusa-manusa nu sujud ka dunya, tapi sabalikna dunya kudu sujud ka manusa nu sujud ka GUSTI".

Berkelana sebagai musafir....... betapa!!!.

Bandung sebagai kota asal telah lama ditinggalkan  Hera. 

Jakarta

Manado

Bekasi

Depok

Bandung

PekanBaru 

Sampit di kebun sawit. Walaupun saya mati, saya ingin  menjadi setan, dan saya akan mengejarmu!.

Jakarta di asrama BS(Batalyon Siliwangi).

Bekasi 

Sukabumi di kaki Gunung  Gede Pangrango di desa Cidadap,  Muara Dua. Kadudampit. "Gelut sia jeung aing".

Lampung, kelurahan Gunung Terang. "nyumput di nu kawas kitu, atuh moal aya anu nyangka"

Ciptagelar di puncak Gunung Halimun. "orang paling kejam sedunia"

Bogor(Ciptamekar), di puncak Gunung Salak, desa Tarikolot.

Kemana lagi kah?. Hati Hera bertanya. Karena Hera tak tahu lagi harus ke mana.?. Tempat berteduh tak dimilikinya lagi.

Hanya beberapa potong pakaian saja yang dimilikinya.

Teman-teman hanya bertanya: "tinggal di mana?", saat di jawab tidak punya tempat tinggal merekapun langsung MEMUTUSKAN HUBUNGAN silaturahmi. Bersyukur!.

Teman sejati..... hanyalah untaian indah saat manusia memiliki harta.

Rasa syukur terus bertambah dalam hinaan karena  dalam ke "fana"annya Hera menemukan teman sejatinya, yaitu dirnya sendiri yang dipenuhi rasa syukur kepada Sang Maha  Pencipta.

Kedamaian di capainya dengan memaafkan semua orang-orang yang menghinanya, yang membencinya entah dengan alasan apapun.

Hera menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri dan teman sejati adalah dirinya sendiri.

Tangis untuk dirinya sudah tak ada lagi, air mata Hera telah kering . Airmata yang membanjiri perjalanan hidupnya telah habis.

Dalam kesadaran diri Hera berserah, sadar bahwa hidup dan kehidupan hanya milik Yang Maha Kuasa.

Manusia tak berdaya dihadapanNYA.

Sebagai wayang, Hera hanya menunggu entah kapan akan dilakonkan  oleh dalang yang memiliki cerita yang sudah di atur olehNYA.

Akhir cerita sudah dapat dipastikan TIDAK AKAN PERNAH dapat di ceritakan, karena tibalah saatnya untuk kembali kepada Sang Khalik mempertanggung jawabkan kehidupan di dunia ini untuk membayar hutang nafas yang telah diberiNYA.

Hidup adalah mencari kebenaran sejati, untuk dapat menjalani hidup dengan "benar" dan dapat kembali kepada cahaya asal

Manusia adalah mahluk cahaya dan harus mampu untuk kembali kepada cahaya asal agar tidak terperangkap oleh unsur bumi/materi??.

Saat memiliki ke"sadar"an diri betapa bahagia nya hidup ini tidak memiliki ikatan dengan "materi".  Mengerti arti dalam kekayaan yang hakiki, kekayaan yang ada di dalam hati. Hidup menjadi ringan dan siap untuk kembali


Papa, Mama, Ferdy..... jemputlah  Wawa segera!.






No comments:

Post a Comment